Home / Nasional / Sumatera Utara / Kepala BNPB di Langkat, Menguji Janji Negara di Tengah Lumpur Bencana

Kepala BNPB di Langkat, Menguji Janji Negara di Tengah Lumpur Bencana

06 Desember 2025
KabarRakyatNasional.Langkat – Sumatera Utara.

Kabut tipis masih menggantung di udara ketika rombongan Kepala BNPB Letjen TNI Dr. Suharyanto S.Sos, MM tiba di Langkat, Jumat (5/12/2025)
Di kiri-kanan jalan menuju Kecamatan Hinai, rumah-rumah warga masih basah, menyisakan garis lumpur setinggi dada, penanda betapa derasnya air menerjang desa-desa di bantaran Sungai Wampu.

Di tengah kondisi itu, ribuan warga menatap kedatangan pemerintah pusat bukan sekadar sebagai kunjungan kerja, tetapi sebagai ujian, apakah negara benar-benar hadir ketika rakyat berada pada batas paling rapuhnya?

BNPB mencatat sedikitnya 11 warga meninggal, lebih dari 12.087 jiwa mengungsi, dan ribuan rumah rusak. Di Pos Pengungsian Kantor Camat Hinai, 6.300 orang bertahan dengan logistik yang mulai menipis. Anak-anak tidur beralaskan tikar tipis, sementara para ibu antre air bersih yang datang terlambat.

Suharyanto turun dari mobilnya dan memulai dialog dengan warga.

BNPB menjanjikan perbaikan tanggul jebol dalam tiga hari. Sebuah janji yang terdengar sederhana di meja rapat, tetapi di lapangan berarti menahan arus sungai yang sudah menghapus ladang, ternak, dan rumah warga. Pemerintah juga menjanjikan hunian sementara (huntara) serta bantuan perbaikan rumah:

Rp15 juta (rusak ringan)

Rp30 juta (rusak sedang)

Rp60 juta (rusak berat)

Namun, di balik janji itu, muncul pertanyaan yang lebih politis dan tak bisa dihindari, mengapa bencana sebesar ini masih belum dianggap sebagai “bencana nasional”?
Padahal skala kerusakan membentang dari Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat, setara dengan “satu provinsi tenggelam” secara de facto.

Kunjungan Kepala BNPB memang menghadirkan sedikit denyut harapan. Bantuan mulai bergerak, dan petugas lapangan bekerja sepanjang hari. Tetapi realitasnya, Sumatera kembali mengajukan tuntutan lama, keseriusan negara memperlakukan daerah ini sebagai bagian yang setara, bukan pinggiran kepentingan pusat.

Di Langkat, hari itu, lumpur bukan sekadar sisa banjir. Ia adalah metafora tentang bagaimana kebijakan, koordinasi, dan prioritas pemerintah sering kali tersumbat, dan rakyatlah yang harus membersihkannya.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *