Oleh: Jajajang Sutisna, S.Pd., M.Pd.
Untuk semua rekan pembelajar Refleksi Pendidikan
Mengapa dari TK hingga perguruan tinggi, peserta didik kita semakin enggan bertanya dan kurang kritis? Pertanyaan ini tidak lahir tiba-tiba; ia adalah cermin panjang dari budaya, sistem, dan psikologi sosial kita sebagai bangsa. Sejak kecil kita akrab dengan ungkapan “diam dulu”, “jangan membantah”, “ikuti saja”. Maka bertanya dianggap gangguan, kritik dianggap kelancangan. Kita dibesarkan dalam kultur keheningan: aman dalam sunyi, patuh tanpa dialog. Rasa ingin tahu bukan mati, ia hanya belajar bersembunyi.
Sistem pendidikan pun sering menakar angka, bukan makna. Ketika prestasi diukur dari nilai, bukan nalar; seragam jawaban lebih aman daripada kejujuran berpikir; tugas menjadi kewajiban, bukan eksplorasi—maka sekolah berubah menjadi kompetisi angka, bukan perjalanan intelektual. Anak menghafal demi kelulusan, bukan memahami demi kedewasaan.
Ketakutan menjadi musuh yang tak terlihat di ruang kelas: takut salah, takut ditertawakan, takut dianggap menantang. Padahal filsafat mengajarkan, “Kebenaran lahir dari keberanian mengakui ketidaktahuan.” Sementara itu, era digital menghadirkan limpahan informasi tanpa kedalaman. Kita tahu banyak, memahami sedikit. Teknologi mempercepat akses, namun sering memperpendek perenungan yang melahirkan kebijaksanaan.
Maka persoalan utamanya bukan pelajar kita kurang cerdas; tetapi ruang untuk menyuarakan kecerdasan itu belum selalu aman, belum selalu dihargai, belum selalu didengar. Anak bukan kehilangan kemampuan bertanya — anak kehilangan keberanian untuk bertanya.
Ke depan, mungkin kita tidak perlu sistem yang sepenuhnya baru—kita butuh sikap baru:
mendengarkan sebelum mengoreksi, membimbing tanpa merendahkan, mengajak dialog bukan hanya memberi instruksi, serta memahami bahwa kritik adalah vitamin intelektual, bukan ancaman personal. Pendidikan yang sehat bukan mencetak manusia yang sama, tetapi manusia yang berani berpikir dan bertanggung jawab.
Sebab masa depan tidak ditulis oleh mereka yang diam, tetapi oleh mereka yang berani menggunakan akal dan suaranya. Semoga ruang ini menjadi ruang gagasan, bukan sekadar ruang harapan—karena pikiran yang bergerak hari ini adalah kehidupan yang lebih bermakna esok hari.












