Home / Pendidikan / SERAMBI PENDIDIKAN: Menjaga Peradaban dari Ambang Pinggiran

SERAMBI PENDIDIKAN: Menjaga Peradaban dari Ambang Pinggiran

Refleksi Pemikiran: Deni Hermawan

Pendidikan sering dimaknai sebagai ruang kelas berpapan tulis, buku pelajaran, dan sistem formal yang berdiri tegak di bawah atap institusi. Namun coretan sederhana ini—lahir dari percakapan ngalor-ngidul di serambi rumah rakyat pinggiran—menegaskan sesuatu yang lebih hakiki: pendidikan bukan sekadar bangunan, bukan sekadar kurikulum, dan bukan pula sekadar gelar. Ia adalah denyut nadi peradaban.

Eighty tahun pascakemerdekaan, masih terlalu banyak warga bangsa yang berada jauh dari pintu akses pendidikan, seakan kemerdekaan tidak pernah benar-benar menyentuh ruang kesadaran mereka. Seakan ilmu masih menjadi barang mewah di negeri sendiri. Jika Cleopatra pernah mengungkap bahwa sebuah negara boleh runtuh tetapi pendidikan jangan pernah dibiarkan hancur, maka ungkapan itu menampar kesadaran kita hari ini—ketika berbagai kebijakan telah dibuat namun jurang ketidakadilan akses pendidikan tetap menganga.

Pendidikan bukan monopoli ruang formal. Ia adalah proses panjang—long life education—yang dilakukan di mana dan kapan saja; dari pangkuan ibu hingga percakapan di pos ronda. Ilmu tidak memilih ruang, hanya manusia yang kerap membatasinya.

Bangsa yang berpendidikan adalah bangsa yang beradab. Tidak mungkin mencipta peradaban dalam gelap pengetahuan. Maka, menyediakan akses pendidikan adalah kewajiban negara, bukan kemurahan hati pemerintah. Karena negara yang menunda pendidikan pada dasarnya sedang menunda masa depan.

Di sinilah letak kritik sosial yang tidak bisa kita abaikan:
Selama pendidikan hanya dipandang sebagai transfer pengetahuan, maka yang tercipta hanya generasi penghafal. Tetapi ketika pendidikan dimaknai sebagai transfer ilmu, keterampilan, kreativitas, dan inovasi, maka lahirlah manusia merdeka—yang tidak sekadar bekerja, tetapi berkarya; tidak sekadar bergantung, tetapi berdikari. Seperti kata Soekarno, tujuan pendidikan adalah menegakkan bangsa yang “tidak menjadi bangsa peminta,” melainkan bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri.

Pendidikan harus dirancang sesuai kebutuhan, minat, dan kesejahteraan pelajar—student need, student interest, student welfare—dengan menghargai kearifan lokal sebagai sumber ilmu, agar tercipta ekosistem pendidikan yang beragam, lentur, dan membumi.

Dalam filsafat Descartes, “Cogito ergo sum”—aku berpikir maka aku ada—keraguan adalah pintu berfikir, dan berpikir adalah bukti eksistensi. Pendidikan sejatinya memberi ruang bagi manusia untuk meragu, mempertanyakan, merasa tidak selesai; sebab dari keraguan itu tumbuh kesadaran, dari kesadaran itu tumbuh keberanian, dan dari keberanian itu tumbuh perubahan.

Serambi pendidikan sesungguhnya bukan sekadar ruang—ia adalah sikap. Sebuah kesediaan untuk belajar, mengajar, mendengar, dan berubah. Karena bangsa yang menolak belajar sesungguhnya sedang setapak demi setapak menghapus masa depannya sendiri.

Semoga refleksi sederhana ini menjadi percikan kecil dari api besar kesadaran kolektif—bahwa pendidikan bukan milik mereka yang mampu, tetapi hak bagi mereka yang hidup.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *