Oleh Deni Hermawan — versi narasi akademik yang direkonstruksi secara filosofis
Perdebatan mengenai Kurikulum Merdeka tak pernah benar-benar berhenti. Setiap kali istilah “merdeka” disematkan dalam dunia pendidikan, pertanyaan filosofis selalu muncul: apa yang hendak dimerdekakan, siapa yang dimerdekakan, dan sejauh mana pendidikan memberi ruang bagi kebebasan itu sendiri?
Setidaknya terdapat tiga fondasi pemikiran—ontologi, epistemologi, dan aksiologi—yang menjadi titik-titik perdebatan utama.
- Ontologi: Apa dan Siapa yang Dimerdekakan?
Secara ontologis, pertanyaan mendasar yang mencuat adalah: apa itu Kurikulum Merdeka? Apakah ia sekadar dokumen teknis pembelajaran, atau paradigma baru yang hendak memerdekakan cara berpikir manusia Indonesia?
Pertanyaan berikutnya lebih tajam:
apa yang dimerdekakan—proses belajarnya atau manusianya?
Jika merdeka hanya dipahami sebagai fleksibilitas administrasi atau kebebasan memilih modul ajar, maka makna filosofis “kemerdekaan” menjadi dangkal. Namun bila merdeka ditempatkan sebagai upaya pembebasan manusia dari keterkungkungan pola pikir statis, maka kurikulum ini masuk pada dimensi yang lebih substansial: kemerdekaan kesadaran.
- Epistemologi: Bagaimana Kurikulum Itu Diwujudkan?
Pada tataran epistemologi (bagaimana pengetahuan dibangun), realitas di lapangan menunjukkan ironi:
Kurikulum 2013 saja belum benar-benar dipahami seluruh satuan pendidikan, sementara Kurikulum Merdeka sudah diperkenalkan sebagai solusi baru.
Pertanyaan epistemologisnya:
bagaimana mungkin sebuah kurikulum yang menuntut kebebasan diterapkan oleh sistem yang masih terikat rutinitas lama?
Fakta menunjukkan banyak guru masih mengajar dengan pola lama:
satu arah,
berpusat pada guru,
mengedepankan hafalan,
dan menjadikan buku teks sebagai satu-satunya kebenaran.
Dengan kondisi epistemologis seperti ini, Kurikulum Merdeka berisiko menjadi nama tanpa jiwa, istilah tanpa praksis.
- Aksiologi: Untuk Apa Kurikulum Itu Diciptakan?
Aksiologi bertanya soal manfaat dan nilai dari kurikulum. Apakah Kurikulum Merdeka benar-benar melahirkan manusia Indonesia yang berdaya?
Tujuan pendidikan bukan sekadar membentuk “pelajar Pancasila” atau “pelajar Rahmatan lil ‘Alamin”, tetapi melahirkan manusia Pancasila—manusia Indonesia yang utuh: berbudaya, berdikari, berkeadaban, dan memegang nilai kebangsaan.
Di titik ini, pendidikan bukan sekadar sekolah. Ia adalah laku kebudayaan.
Belajar sebagai Pembentukan Kesadaran
Seperti diingatkan Y.B. Mangunwijaya, belajar itu bukan untuk mengenal huruf, tetapi mengenal dunia.
Belajar berarti:
menjelajah cara berpikir,
membaca realitas,
membaca sejarah,
membaca diri,
dan akhirnya memahami kemanusiaan secara utuh.
Dalam pengertian filosofis, belajar adalah proses memanusiakan manusia. Inilah esensi yang seharusnya menjadi napas Kurikulum Merdeka.
Menjadi Manusia Indonesia
Kurikulum yang merdeka seharusnya tidak hanya melahirkan lulusan yang pandai mengerjakan soal atau lihai menggunakan gawai. Ia harus menumbuhkan karakter:
nalar yang kritis,
hati yang peka,
identitas kebangsaan yang kokoh,
kemampuan adaptasi terhadap perubahan zaman.
Di era digital, manusia Indonesia tidak boleh tercerabut dari akar budayanya. Kemerdekaan sejati bukan bebas tanpa arah, tetapi bebas dalam nilai.
Penutup: Masihkah Kita Menunggu Jawaban?
Mengutip Prof. Mastuhu, kita perlu menata ulang sistem pendidikan nasional—bukan hanya mengganti kurikulum, tetapi menata cara berpikir tentang pendidikan itu sendiri.
Pertanyaan akhirnya menjadi refleksi bersama:
mampukah Kurikulum Merdeka benar-benar memerdekakan manusia Indonesia?
Pertanyaan ini masih menggantung, masih mencari jawabannya di ruang-ruang kelas, di tangan para guru, dan dalam kebijakan yang terus berubah.
Mungkin benar bahwa kurikulum dapat berganti, tetapi pendidikan adalah perjalanan panjang peradaban. Dan di sanalah misterinya.









