Home / Pendidikan / Refleksi Hari Pahlawan 10 November 2025

Refleksi Hari Pahlawan 10 November 2025

Menyalakan Api Nilai, Bukan Sekadar Mengenang Jasa

Oleh: Kabar Rakyat Nasional & Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Pojok Keseteraan Masyarakat
Di bawah komando Junadi Tarigan, S.H., Praktisi Hukum dan Pemerhati Pendidikan

Setiap tanggal 10 November, bangsa ini berhenti sejenak bukan untuk meratap masa lalu, melainkan untuk merenungi makna keberanian dan keikhlasan. Hari Pahlawan bukan sekadar momentum mengenang gugurnya para pejuang di medan laga, tetapi juga panggilan moral bagi kita yang masih hidup — untuk melanjutkan perjuangan dalam bentuk yang lebih bijak, bermartabat, dan berkeadaban.

Junadi Tarigan, S.H., selaku praktisi hukum dan pemerhati pendidikan yang memimpin Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH), menegaskan bahwa pahlawan adalah cermin nilai, bukan hanya nama dalam monumen.
Menurutnya, nilai kepahlawanan harus dihidupkan kembali di tengah kehidupan modern yang sering kali kehilangan arah etik dan nurani.

“Semangat pahlawan bukan terletak pada perang melawan penjajah, tetapi pada perang melawan ketidakadilan, kemiskinan, dan kebodohan.
Itulah bentuk perjuangan baru yang harus kita menangkan dengan ilmu, akhlak, dan ketulusan.”
— Junadi Tarigan, S.H.

Dalam pandangan filsafat perjuangan bangsa, pahlawan adalah simbol dari keberanian eksistensial manusia untuk menegakkan nilai di atas kepentingan diri. Mereka menempuh jalan sunyi demi martabat kolektif, bukan sekadar kejayaan pribadi.
Maka, dalam konteks kekinian, menjadi pahlawan berarti berani menjaga nurani di tengah godaan pragmatisme, serta berjuang demi kebenaran hukum, keadilan sosial, dan pendidikan yang mencerdaskan.

YLBH di bawah kepemimpinan Junadi Tarigan memaknai Hari Pahlawan sebagai pengingat tanggung jawab sejarah. Bahwa kemerdekaan yang diwariskan bukan untuk ditidurkan dalam upacara seremonial, melainkan untuk dihidupkan melalui kerja nyata, advokasi, dan pembelaan terhadap hak rakyat kecil.

Di era modern ini, bentuk perjuangan bergeser dari pertempuran fisik menjadi pertempuran moral dan intelektual.
Kita dituntut untuk mengisi kemerdekaan dengan kebijakan dan keberadaban, membangun bangsa bukan hanya melalui pembangunan fisik, tetapi dengan memperkuat rule of law, menegakkan etika, dan menumbuhkan kesadaran hukum di setiap lapisan masyarakat.

Semangat kepahlawanan, menurut Junadi Tarigan, harus menjadi roh perjuangan kolektif — membakar semangat para pendidik, pegiat hukum, dan generasi muda agar terus berbuat untuk negeri dengan niat yang tulus dan langkah yang jujur.

“Nilai kepahlawanan harus tetap berkobar di dalam dada.
Bukan untuk dikenang, tetapi untuk diteruskan menjadi energi moral bangsa dalam menegakkan hukum dan membangun peradaban.”
— Junadi Tarigan, S.H.

Hari Pahlawan tahun ini menjadi ruang refleksi bagi kita semua:
Apakah kita masih mewarisi keberanian mereka, atau justru menidurkan idealisme mereka di antara rutinitas modernitas?

Jika pahlawan dulu berjuang dengan darah dan nyawa, maka pahlawan hari ini berjuang dengan nurani dan kejujuran.
Mereka yang membela kebenaran di ruang sidang, mereka yang mengajar di pelosok tanpa pamrih, dan mereka yang menjaga moralitas publik — merekalah penerus jiwa kepahlawanan sejati.

Karena pada akhirnya, menjadi pahlawan bukan tentang mati di medan perang, tetapi tentang hidup dengan makna, berjuang dengan hati, dan berbuat untuk sesama.

Kabar Rakyat Nasional & YLBH Pojok Kesetaraan Masyarakat
Tangerang, 10 November 2025

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *