09 Nopember 2025.
KabarRakyatNasional.id
Setiap menjelang Hari Pahlawan, bangsa ini selalu dihadapkan pada pertanyaan klasik namun sarat makna, siapa yang pantas disebut pahlawan? Tahun ini, perdebatan itu kembali mengemuka dengan munculnya wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, sosok yang meninggalkan jejak panjang dalam sejarah bangsa, penuh pujian sekaligus luka.
Namun di balik perdebatan tentang layak atau tidaknya Soeharto disebut pahlawan, terselip satu fenomena menarik, bagaimana naluri politik bangsa ini, terutama para elitnya, bekerja secara pragmatis demi bertahan hidup. Politik yang sejatinya harusnya berlandaskan nilai dan moral, kini lebih sering digerakkan oleh kalkulasi untung rugi, oleh kepentingan untuk tetap aman, diterima, dan relevan dalam arus kekuasaan.
Wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto tampak bukan sekadar penghormatan sejarah, tetapi juga cerminan bagaimana politik hari ini masih dikuasai naluri bertahan hidup yang pragmatis. Banyak pihak yang mungkin mendukung bukan karena keyakinan moral atau penilaian sejarah yang objektif, melainkan karena hitungan politik, menjaga simpati kelompok tertentu, mengamankan dukungan elektoral, atau sekadar menunjukkan kedekatan dengan simbol masa lalu yang masih punya pengaruh.
Soeharto, bagi sebagian orang, adalah bapak pembangunan, bagi sebagian lain, ia adalah simbol otoritarianisme dan pelanggaran HAM. Di titik ini, seharusnya politik mengambil peran moral, menimbang secara jujur, bukan menilai dengan kacamata kepentingan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, kebenaran sejarah sering ditawar dalam pasar politik yang pragmatis.
Naluri politik bertahan hidup inilah yang membuat banyak elite hari ini memilih diam, atau bahkan ikut arus, dalam setiap isu yang sensitif. Mereka takut kehilangan dukungan, takut diserang, atau takut kehilangan posisi. Dalam logika seperti ini, politik bukan lagi ruang perjuangan, melainkan ruang aman, tempat di mana setiap langkah dihitung, setiap sikap diukur, bukan dengan hati, tapi dengan peluang.
Padahal, jika kita benar-benar ingin menghormati makna Hari Pahlawan, semestinya kita meneladani semangat mereka yang berani melawan arus, bukan mereka yang mencari aman. Pahlawan sejati berjuang untuk nilai, bukan untuk posisi. Mereka tidak menimbang konsekuensi politik dari kebenaran yang dipegangnya.
Wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto menjadi ujian moral bagi bangsa ini, apakah kita masih memiliki keberanian untuk menilai sejarah secara jujur, atau kita sudah terjebak dalam politik yang sekadar ingin selamat.
Karena dalam politik yang pragmatis, kebenaran bisa dikaburkan, dan sejarah bisa dipoles sesuai kepentingan. Tapi dalam jiwa kepahlawanan, kebenaran tetap berdiri tegak, meski harus menanggung risiko yang besar.
Hari Pahlawan seharusnya menjadi waktu bagi kita untuk meneguhkan kembali makna perjuangan, bukan sekadar bagi mereka yang sudah tiada, tetapi juga bagi kita yang masih berjuang di tengah kepalsuan politik. Sebab pahlawan sejati bukan hanya mereka yang gugur di medan perang, tapi juga mereka yang berani berkata benar di tengah ketakutan, dan menolak tunduk pada naluri bertahan hidup yang pragmatis.
Dan di situlah letak ujian kita hari ini, apakah kita bangsa yang berani menegakkan kebenaran sejarah, atau bangsa yang rela memutarbalikannya demi kenyamanan politik sesaat.













