Home / Pendidikan / Pendidikan Indonesia Harus Menyatukan Kemandirian, Kultur Ketimuran, dan Era Digital

Pendidikan Indonesia Harus Menyatukan Kemandirian, Kultur Ketimuran, dan Era Digital

Pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur, Ruhli Solehudin

Cianjur – Kabar Rakyat Nasional.
Di tengah arus perubahan zaman dan derasnya gelombang digitalisasi, pendidikan Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk tetap berakar pada nilai-nilai budaya sambil melangkah ke masa depan. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur, Ruhli Solehudin, menegaskan bahwa arah pendidikan nasional harus mampu menyatukan kemandirian belajar, kultur ketimuran, dan era digital sebagai fondasi membangun manusia seutuhnya.

Menurut Ruhli, pendidikan bukan hanya persoalan kurikulum, tetapi juga ikhtiar membangun karakter dan kesadaran diri. Ia menekankan bahwa semangat pendidikan harus menghidupkan kembali nilai gotong royong, kejujuran, dan rasa tanggung jawab, yang menjadi inti dari kebudayaan Indonesia.

Pernyataan tersebut sejalan dengan paradigma pendidikan humanis yang dikembangkan oleh pemikir dunia seperti Maria Montessori, John Dewey, dan Paulo Freire, yang menempatkan manusia sebagai subjek belajar, bukan objek kebijakan. Ruhli melihat bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk melahirkan model pendidikan khas Nusantara — berbasis nilai spiritual, sosial, dan inovasi ilmiah.

Integrasi Nilai dan Arah Kebijakan

Dalam konteks kebijakan daerah, Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur terus mendorong transformasi pendidikan nonformal dan kesetaraan, termasuk peran strategis Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai ujung tombak pembelajaran sepanjang hayat.

Ruhli juga menekankan pentingnya literasi digital bagi para pendidik dan peserta didik, namun tetap berlandaskan etika, moral, dan nilai-nilai ketuhanan.

Makna Filosofis

Pernyataan Kepala Dinas Pendidikan ini menegaskan arah pendidikan yang berbasis nilai, budaya, dan teknologi yang selaras.
Pendidikan bukan sekadar memindahkan pengetahuan, tetapi membangunkan kesadaran manusia agar mampu hidup dalam harmoni — dengan dirinya, masyarakatnya, dan alam semesta.
Sebagaimana pepatah Sunda menyebut:

(Ilmu tidak boleh dijadikan komoditas, tetapi digunakan untuk membangkitkan kemanusiaan.)

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *