Cianjur Kabar Rakyat Nasional.id— Dalam refleksi pendidikan yang digelar di tengah upaya peningkatan mutu sekolah menengah, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur menekankan pentingnya menjaga rasa ‘wonder’ atau keajaiban belajar dalam diri anak-anak. Menurutnya, pendidikan sejati bukan hanya membentuk kepintaran, tetapi juga mengasah karakter, logika, dan jiwa yang utuh.
“Anak-anak jangan kehilangan rasa kagumnya terhadap hidup,” ujarnya dalam sebuah pertemuan reflektif bersama para pendidik dan tokoh masyarakat. “Pendidikan harus menjadi proses penempaan, bukan perlombaan. Di situlah nilai kemanusiaan dan kebijaksanaan tumbuh.”
Pandangan ini sejalan dengan filosofi Maria Montessori, yang menekankan bahwa anak usia sekolah menengah sedang berada pada tahap “pembangunan jiwa rasional” — masa di mana mereka mulai mencari makna, bukan sekadar hafalan. Montessori percaya, bila anak diberi kebebasan untuk belajar dengan rasa ingin tahu dan tanggung jawab, maka mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang berdaya cipta dan beretika.
Sementara itu, Rollo May, seorang psikolog eksistensial, menyebut pendidikan sebagai tempat di mana keberanian anak diuji. Ia menulis bahwa “tanpa keberanian untuk belajar dan gagal, anak kehilangan makna menjadi manusia.” Dalam konteks ini, sekolah seharusnya menjadi ruang aman bagi anak untuk berani berpikir, merasa, dan mencoba — bukan sekadar takut salah.
Dari sisi sastra dan spiritualitas, Paulo Coelho menegaskan bahwa setiap anak adalah “penjelajah takdirnya sendiri.” Pendidikan yang baik, menurutnya, adalah yang membantu anak menemukan panggilan jiwanya, bukan menutupinya dengan standar yang kaku.
Namun, Kepala Dinas Pendidikan Cianjur juga menekankan pentingnya disiplin berpikir dan pengendalian logika, sebagaimana diajarkan Seneca, filsuf Stoik dari Romawi. “Logika adalah pagar agar kebebasan tidak menjadi kekacauan,” ujarnya. Ia menambahkan, “Kita boleh bermimpi setinggi langit, tapi kita harus melangkah dengan akal yang terarah dan hati yang tenang.”
Dalam refleksi itu, ia juga menyinggung pemikiran Niccolò Machiavelli, bukan dalam arti politik yang keras, melainkan dalam konteks realisme pendidikan. “Machiavelli mengingatkan kita bahwa idealisme tanpa strategi hanya akan menjadi retorika. Maka pendidikan harus membumi — mengajarkan anak cara berpikir kritis, memahami realitas, dan tetap memegang nilai moral.”
Cianjur, menurutnya, memiliki potensi besar untuk menjadi ikon keberhasilan pendidikan di Jawa Barat, bahkan nasional — jika mampu menyatukan pendekatan rasional, moral, dan spiritual dalam satu kesadaran: bahwa setiap anak adalah jiwa yang sedang ditempa, bukan produk yang harus diseragamkan.
“Ketika pendidikan kembali menjadi perjalanan jiwa, bukan beban kurikulum, maka Cianjur akan menjadi tanah subur bagi lahirnya generasi berkarakter dan berakal budi,” tutupnya dengan senyum penuh keyakinan.













