Home / Pendidikan / KURIKULUM MERDEKA SEBAGAI JALAN KESADARAN:

KURIKULUM MERDEKA SEBAGAI JALAN KESADARAN:

PENDIDIKAN, KARAKTER, DAN PEMUTUS MATA RANTAI ANAK TIDAK SEKOLAH

Oleh : Jajang Sutisna, S.pd., M.pd. Kabid Paud Dikmas Kabupaten Cianjur

Pendidikan pada hakikatnya bukan sekadar transmisi pengetahuan, melainkan proses pemanusiaan manusia. Ia adalah ikhtiar peradaban untuk menuntun potensi kodrati manusia agar tumbuh seimbang antara nalar, nurani, dan laku hidup. Dalam kerangka inilah Kurikulum Merdeka hadir, bukan sebagai dokumen administratif semata, tetapi sebagai paradigma baru pendidikan yang menempatkan manusia—bukan sistem—sebagai pusat semesta belajar.

  1. Kurikulum Merdeka: Dari Standar Menuju Kesadaran

Kurikulum Merdeka menggeser orientasi pendidikan dari penyeragaman menuju pemerdekaan potensi. Ia mengakui bahwa setiap anak lahir dengan fitrah, latar sosial, budaya, dan ritme belajar yang berbeda. Pendidikan tidak lagi memaksa anak mengejar kurikulum, tetapi kurikulumlah yang menyesuaikan diri dengan anak.

Secara akademik, Kurikulum Merdeka menekankan:

•Pembelajaran berbasis kompetensi dan konteks nyata
•Diferensiasi pembelajaran sesuai kemampuan dan minat
•Asesmen formatif yang menumbuhkan, bukan menghakimi
•Proyek Penguatan Profil •Pelajar Pancasila (P5) sebagai jantung pembentukan karakter

Dalam perspektif filosofis Timur, pendekatan ini sejalan dengan prinsip ngigelan jaman tanpa kagélan jati diri—menyongsong zaman tanpa kehilangan hakikat manusia.

  1. Pendidikan Nonformal dan Kesetaraan: Jalan Sunyi yang Mulia

Pendidikan nonformal—PAUD, PKBM, Paket A, B, dan C—sering dipandang sebagai jalan alternatif, padahal secara hukum dan substansi ia adalah jalan yang setara dan bermartabat. Kurikulum Merdeka memberi ruang besar bagi pendidikan nonformal untuk:

•Menyusun pembelajaran berbasis kehidupan nyata masyarakat
•Mengintegrasikan keterampilan hidup (life skills)
•Menumbuhkan motivasi intrinsik, bukan sekadar ijazah

Di sinilah pendidikan menjadi alat pembebasan sosial, terutama bagi anak putus sekolah, masyarakat marginal, dan mereka yang tertinggal oleh sistem formal.

  1. Pembentukan Karakter: Dari Pengetahuan ke Kebijaksanaan

Kurikulum Merdeka tidak berhenti pada apa yang diketahui, tetapi bergerak ke siapa yang menjadi. Profil Pelajar Pancasila—beriman, mandiri, bernalar kritis, kreatif, gotong royong, dan berkebinekaan global—bukan slogan, melainkan peta jalan karakter bangsa.

Dalam kebudayaan Timur, karakter bukan diajarkan lewat ceramah, melainkan ditumbuhkan melalui keteladanan, pembiasaan, dan rasa. Pendidikan yang berkarakter adalah pendidikan yang:

•Mengajarkan anak mengenal dirinya
•Menghubungkan ilmu dengan tanggung jawab moral
•Menjadikan belajar sebagai ibadah dan pengabdian

  1. Strategi Jangka Pendek: Menyadarkan dan Menggerakkan

Untuk mempersempit ruang anak tidak sekolah, strategi jangka pendek harus bersifat kultural dan persuasif, antara lain:

1.Narasi edukasi publik yang menggunakan bahasa intelektual, filosofis, dan menyentuh rasa

2.Revitalisasi PKBM dan PAUD sebagai pusat peradaban lokal

3.Pendekatan keluarga dan tokoh masyarakat sebagai penjaga kesadaran pendidikan

4.Pendidikan kontekstual yang langsung dirasakan manfaatnya oleh warga

Kesadaran lahir bukan dari paksaan, melainkan dari pemahaman yang bermakna.

  1. Strategi Jangka Panjang: Membangun Ekosistem Kesadaran

Keberlanjutan hanya mungkin jika pendidikan menjadi gerakan bersama, bukan program sektoral. Strategi jangka panjang meliputi:

•Penguatan kapasitas pendidik nonformal sebagai agen perubahan

•Integrasi pendidikan dengan ekonomi lokal dan kearifan budaya

•Kolaborasi lintas sektor: pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan lembaga sosial

•Menjadikan pendidikan sebagai identitas dan kebanggaan komunitas

Dalam bahasa filsafat, inilah peralihan dari pendidikan sebagai kewajiban negara menuju pendidikan sebagai kesadaran kolektif bangsa.

  1. Penutup: Pendidikan sebagai Jalan Peradaban

Kurikulum Merdeka sejatinya adalah undangan untuk kembali memuliakan manusia. Ia mengajak kita memahami bahwa memutus mata rantai anak tidak sekolah bukan sekadar soal regulasi, tetapi soal kesadaran, makna, dan keberanian moral.

Ketika masyarakat menyadari bahwa pendidikan adalah jalan untuk menjaga martabat, maka sekolah—formal maupun nonformal—akan dicari, bukan dipaksa. Dan di sanalah pendidikan menjalankan fungsi sejatinya: menjadi cahaya yang membimbing, bukan menara yang menjauhkan.

Narasi Reflektif-Pilosofis tentang Pendidikan dengan Muatan Opini Akademik

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *