Home / Pendidikan / “Mi Indung Ka Waktu Mibapa Ka Jaman”: Filsafat Sunda Dalam Arus Digitalisasi

“Mi Indung Ka Waktu Mibapa Ka Jaman”: Filsafat Sunda Dalam Arus Digitalisasi

Oleh: Jajang Sutisna, S.Pd., M.Pd.

Dalam khazanah filsafat lokal Sunda, ungkapan “mi indung ka waktu mibapa ka jaman” bukanlah sekadar petuah adaptasi pragmatis, melainkan sebuah konsepsi ontologis tentang hubungan manusia, waktu, dan kebudayaan.

Ungkapan ini mengandung makna bahwa manusia hidup di dalam waktu, dan waktu selalu melahirkan jaman—sebuah fase sejarah dengan corak teknologi, cara berpikir, dan sistem nilai tertentu.

Oleh karena itu, manusia tidak mungkin menolak jaman, sebagaimana rahim tidak menolak pertumbuhan janin.
Namun demikian,

filsafat Sunda tidak berhenti pada sekadar “mengikuti”. Ia justru mengajarkan kesadaran kritis, yakni mengikuti jaman tanpa kehilangan induk nilai.

Era digitalisasi merupakan keniscayaan sejarah. Hampir seluruh sektor kehidupan—pendidikan, ekonomi, hukum, komunikasi, bahkan relasi sosial—telah dan akan terus bergerak dalam ekosistem digital. Menolak digitalisasi sama artinya dengan menolak realitas zaman itu sendiri. Akan tetapi,

filsafat Sunda menegaskan satu garis batas yang tidak boleh dilanggar: jaman boleh berubah, tetapi kultur tidak boleh tercerabut.

Di sinilah letak kedalaman makna mi indung ka waktu. Indung dalam terminologi filsafat Sunda bukan sekadar ibu biologis, melainkan simbol asal-usul nilai, etika, dan rasa kemanusiaan. Indung adalah pusat moral, tempat manusia kembali ketika jaman mulai membingungkan arah hidup. Karena itu, mengikuti waktu dan jaman harus tetap berakar pada indung nilai—pada budaya, pada rasa, dan pada akhlak.

Digitalisasi yang tidak disertai kesadaran budaya berpotensi melahirkan manusia teknologis yang mahir secara alat, tetapi miskin secara makna. Informasi menjadi berlimpah, tetapi kebijaksanaan menipis. Kecepatan meningkat, tetapi kedalaman rasa menurun. Inilah bahaya ketika jaman dipeluk tanpa landasan filosofi.

Filsafat Sunda memposisikan kultur sebagai tiang peradaban. Tiang boleh diganti atapnya, boleh diperindah dindingnya, tetapi ketika tiang patah, bangunan akan runtuh. Budaya adalah fondasi nilai yang menopang cara manusia menggunakan teknologi, bukan sebaliknya.

Teknologi seharusnya menjadi alat penguat peradaban, bukan pengganti nilai-nilai luhur.

Dalam konteks pendidikan non-formal, terutama bagi generasi yang tumbuh di era digital, narasi ini menjadi sangat penting. Mereka perlu diajarkan bahwa menguasai teknologi tanpa menguasai diri merupakan bentuk kemunduran peradaban. Budaya lokal bukanlah sisa masa lalu, melainkan filsafat hidup lintas zaman yang telah teruji oleh sejarah.

Kultur Sunda mengajarkan nilai someah hade ka semah, silih asah, silih asih, silih asuh, serta ulah kagoda ku kilap dunya. Nilai-nilai tersebut bukan anti-kemajuan, melainkan kompas moral agar kemajuan tidak berubah menjadi kehancuran. Digitalisasi harus berjalan di atas nilai-nilai ini, bukan menggilasnya.

Pesan Moral yang Mendasar
Pelajar perlu memahami satu kebenaran etis yang mendalam:

Jaman boleh bergerak cepat, tetapi manusia harus tetap berjalan dengan nurani.

Mengikuti waktu adalah keharusan, tetapi menjadi budak jaman merupakan kegagalan filosofis. Budaya yang kokoh akan membuat manusia mampu berdiri tegak di tengah arus perubahan—tidak hanyut, tidak terperdaya, dan tidak kehilangan jati diri.

Dengan demikian, mi indung ka waktu mibapa ka jaman bukanlah ajakan untuk larut dalam arus, melainkan seruan untuk sadar: sadar asal-usul, sadar nilai, dan sadar tanggung jawab manusia sebagai penjaga peradaban. Digitalisasi boleh menjadi wajah zaman, tetapi budaya harus tetap menjadi jiwa manusia.

Esai Reflektif Berbasis Philsafat Lokal

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *