17 Desember 2025
KabarRakyatNasional.id Langkat – Sumatera Utara
Setiap proyek besar di daerah selalu meninggalkan jejak. Bukan hanya jejak administrasi, tetapi juga jejak kepentingan politik lokal. Dugaan korupsi pengadaan smartboard di Kabupaten Langkat membuka kembali pertanyaan lama, sejauh mana kebijakan publik benar-benar lahir dari kebutuhan, dan bukan dari kompromi kekuasaan.
Pemeriksaan Faisal Hasrimy, mantan Penjabat Bupati Langkat, oleh Kejaksaan Negeri Langkat, selasa 16/12/2025 menjadi penanda penting. Sebanyak 71 pertanyaan diajukan penyidik, menelusuri simpul keputusan yang melibatkan lebih dari satu tangan. Dalam politik lokal, angka sebanyak itu biasanya bukan untuk satu orang, melainkan untuk membaca jaringan.
Sebagai Pj Bupati, Faisal Hasrimy memang bukan aktor politik elektoral. Namun posisinya berada di tengah pusaran kepentingan lokal yang sudah mapan, elite birokrasi, aktor politik daerah, hingga pengusaha yang selama ini hidup dari proyek anggaran. Dalam situasi transisi kekuasaan, pejabat sementara sering kali menjadi titik kompromi, diapit antara tekanan melanjutkan “warisan kebijakan” dan kewajiban menjaga integritas.
Smartboard kemudian hadir sebagai proyek ideal, bernilai besar, 49,9 M, berlabel kemajuan, dan relatif minim resistensi publik. Di balik itu, kepentingan lokal menemukan ruangnya. Proyek teknologi membuka peluang distribusi keuntungan, sekaligus alat membangun citra keberpihakan pada pendidikan. Politik lokal bekerja halus, tanpa perlu pidato.
Kejaksaan Negeri Langkat menegaskan proses hukum berjalan objektif dan pemeriksaan Faisal Hasrimy masih sebatas penggalian keterangan. Namun bagi publik, perkara ini mengungkap persoalan yang lebih luas, lemahnya pemutusan rantai kepentingan dalam pengambilan kebijakan daerah. Ketika satu proyek disepakati, sering kali ia sudah “dikunci” oleh kesepahaman informal yang sulit ditembus mekanisme formal.
Kasus ini juga menyorot peran aktor politik lokal yang jarang tersentuh sorotan. Pembahasan anggaran di ruang-ruang tertutup, persetujuan tanpa debat publik yang memadai, serta minimnya transparansi membuat APBD menjadi arena aman bagi kompromi elite. Ketika persoalan mencuat, tanggung jawab kerap berhenti pada pejabat eksekutif.
Smartboard Langkat akhirnya menjadi simbol yang lebih besar dari sekadar alat belajar. Ia adalah cermin bagaimana kebijakan daerah bisa terseret oleh kepentingan politik lokal yang tak kasat mata. Jika penegakan hukum hanya berhenti pada individu, maka jejaring kepentingan akan tetap utuh, menunggu proyek berikutnya.
Publik kini menunggu lebih dari sekadar penetapan tersangka. Yang diharapkan adalah keberanian membongkar pola, bukan hanya pelaku. Sebab tanpa membedah jejak kepentingan politik lokal, kasus ini berisiko menjadi episode singkat, ramai di awal, sunyi di akhir, sementara praktik yang sama terus berulang di balik meja anggaran.












