14 Desember 2025
KabarRakyatNasional.id Sumatera Utara.
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprov Sumut) menyampaikan penyediaan internet gratis di sekolah-sekolah, sebagai upaya memperkecil kesenjangan digital, pada acara Roketin Generasi Tunas Digital di Dharmawangsa, Medan (13/12/2025). Wakil Gubernur Sumut, Surya, menyebut program ini sebagai komitmen pemerintah daerah untuk menghadirkan keadilan akses teknologi bagi dunia pendidikan.
Namun di balik pernyataan optimistis tersebut, program ini memunculkan pertanyaan kritis, sejauh mana internet gratis benar-benar menjangkau sekolah di daerah terpencil, terluar, dan tertinggal di Sumatera Utara?
Fakta di lapangan menunjukkan, kesenjangan digital bukan semata soal ketiadaan jaringan internet, tetapi juga menyangkut kualitas infrastruktur, kesiapan listrik, ketersediaan perangkat, serta kemampuan guru dan siswa dalam memanfaatkan teknologi. Tanpa menjawab persoalan-persoalan mendasar itu, internet gratis berpotensi hanya dinikmati sekolah-sekolah yang sejak awal sudah relatif maju.
“Internet kini menjadi kebutuhan dasar pendidikan,” ujar Surya. Pernyataan itu benar, namun menjadi ironis jika masih ada sekolah di pelosok Sumut yang jangankan internet, listrik pun belum stabil, bahkan akses jalan menuju sekolah masih sulit dilalui.
Program ini juga perlu diuji dari sisi keberlanjutan dan transparansi anggaran. Publik berhak mengetahui berapa sekolah yang sudah terlayani, daerah mana saja yang menjadi prioritas, serta mekanisme pengawasan agar program ini tidak berhenti sebagai proyek seremonial atau sekadar pencitraan kebijakan.
Lebih jauh, penyediaan internet tanpa penguatan literasi digital berisiko melahirkan persoalan baru. Tanpa pendampingan yang serius, internet di sekolah bisa menjadi ruang konsumsi hiburan semata, bukan alat pembebasan pengetahuan sebagaimana tujuan awalnya.
Pemprov Sumut menyatakan akan melibatkan berbagai pihak dalam membangun ekosistem digital. Namun keterlibatan itu harus nyata, bukan hanya jargon. Dunia usaha, komunitas pendidikan, dan masyarakat perlu dilibatkan sejak tahap perencanaan, bukan sekadar diminta mendukung setelah program berjalan.
Internet gratis di sekolah seharusnya menjadi alat keadilan sosial, bukan etalase kebijakan. Jika Pemprov Sumut benar-benar ingin memperkecil kesenjangan digital, maka keberpihakan pada sekolah-sekolah di wilayah miskin dan terpinggirkan harus menjadi prioritas utama, bukan pilihan tambahan.
Tanpa keberanian untuk menyasar akar ketimpangan, program ini berisiko menjadi kebijakan elitis, terlihat progresif di atas kertas, tetapi timpang dalam pelaksanaan.













