Home / Nasional / Sumatera Utara / BANJIR LANGKAT DAN UJIAN KEMANUSIAAN KITA(Mempertegas Data, Memperjelas Tanggung Jawab Negara)

BANJIR LANGKAT DAN UJIAN KEMANUSIAAN KITA(Mempertegas Data, Memperjelas Tanggung Jawab Negara)

03 Desember 2025
KabarRakyatNasional.id Langkat – Sumatera Utara

Banjir besar yang melanda Kabupaten Langkat bukan sekadar musibah tahunan. Data resmi Pemerintah Kabupaten Langkat mencatat: 16 kecamatan terdampak, 437.480 jiwa merasakan langsung dampaknya, 115.979 kepala keluarga (KK) berada dalam situasi darurat, dan 19.434 jiwa terpaksa mengungsi. Lebih memilukan lagi, 11 warga meninggal dunia akibat banjir yang menggulung desa-desa, merendam permukiman hingga 50–200 cm, dan melumpuhkan aktivitas masyarakat.

Angka-angka ini bukan deretan statistik di atas kertas. Ini adalah wajah pilu masyarakat yang selama bertahun-tahun hidup dalam kerentanan yang dibiarkan. Setiap centimeter genangan adalah cerita kehilangan, rumah yang hanyut, sawah gagal panen, sekolah terhenti, dan masa depan yang terasa semakin gelap.

Pada 2 Desember 2025, Bupati Langkat, H. Syah Afandin, SH, menggelar rapat evaluasi bersama BNPB, BPBD, TNI–Polri, dan jajaran perangkat daerah.

Dari rapat itu lahir lima keputusan penting:

  1. Memperpanjang status tanggap darurat selama 14 hari ke depan.
  2. Memperkuat koordinasi antara posko induk dan posko kecamatan.
  3. Mempercepat distribusi logistik ke seluruh titik terdampak dan pengungsian.
  4. Menambah personel serta armada evakuasi dan penanganan darurat.
  5. Mempercepat pendataan kerusakan rumah dan fasilitas umum sebagai dasar perbaikan pascabencana.

Secara administratif, keputusan ini tepat. Namun, masyarakat juga berhak bertanya: mengapa langkah-langkah besar baru diambil ketika banjir sudah menyapu 11 nyawa dan memaksa hampir 20 ribu warga meninggalkan rumah? Mengapa mitigasi dan pencegahan tidak pernah berada di garis depan kebijakan daerah, sementara setiap tahun kita selalu menunggu bencana datang seperti rutinitas yang dianggap wajar?

Banjir Langkat menunjukkan sesuatu yang jauh lebih dalam, kita menghadapi krisis keberpihakan. Warga di desa-desa yang paling terpencil, mulai dari Secanggang, Wampu, Hinai, Tanjung Pura, Gebang, Padang Tualang, Batang Serangan, Babalan, Sei. Lepan hingga Besitang berada di garis depan risiko, namun sering berada di barisan paling belakang dalam menerima bantuan dan perhatian.

Pemerintah wajib memastikan bahwa:

  • Bantuan logistik benar-benar sampai, bukan berhenti di posko, apalagi tersendat karena birokrasi.
  • Tidak ada pungli, politisasi, atau permainan distribusi bantuan.
  • Pendataan kerusakan dilakukan transparan, tidak boleh ada warga yang “hilang dari daftar”.
  • Pemulihan pascabencana mencakup perbaikan rumah, akses pendidikan, layanan kesehatan, hingga penghidupan kembali keluarga-keluarga terdampak.

Bencana alam memang sulit dihindari, tetapi ketidakpedulian adalah bukan pilihan. Dan itu sangat menentukan apakah sebuah kabupaten mampu bangkit atau terus terjebak dalam lingkaran tragedi.

Langkat hari ini sedang diuji. Bukan hanya oleh hujan, bukan oleh meluapnya sungai, tetapi oleh tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Kita membutuhkan pemerintah yang bergerak bukan karena sorotan kamera, tetapi karena nurani. Kita membutuhkan kebijakan yang lahir bukan dari rapat seremonial, tetapi dari keberpihakan pada mereka yang paling rentan.

Banjir dapat merendam rumah dan ladang. Tetapi jika kepedulian publik ikut tergerus, yang tenggelam bukan hanya desa-desa, melainkan masa depan Langkat itu sendiri.

Kini kita menunggu, apakah bencana ini menjadi titik balik, atau sekadar tambahan dalam daftar panjang tragedi yang terus berulang?

Dan sejarah, seperti biasanya, akan mencatat siapa yang bekerja dengan tulus dan siapa yang berpura pura karena pencitraan.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *