Home / Nasional / REFLEKSI FILSAFAT JURNALISME “Ketika Pena Menjadi Cermin Nurani”

REFLEKSI FILSAFAT JURNALISME “Ketika Pena Menjadi Cermin Nurani”

Dalam dunia jurnalisme, pena bukan hanya alat merekam peristiwa. Ia adalah cermin nurani, tempat seorang penulis menilai kembali keberpihakan, kejujuran, dan tanggung jawabnya kepada publik.

Secara ilmiah, jurnalisme menuntut akurasi, verifikasi, dan keseimbangan. Namun secara spiritual, jurnalisme menuntut ketulusan hati, kejernihan niat, dan keberanian moral untuk menyampaikan kebenaran meski sering kali tidak populer.

Seorang jurnalis tidak hanya melihat apa yang tampak, tetapi juga apa yang tersembunyi: suara yang terpinggirkan, fakta yang ditutupi kepentingan, dan harapan kecil yang masih bertahan di tengah kerusakan sosial.

Pada titik inilah filsafat bertanya:
“Untuk apa engkau menulis? Kebenaran mana yang engkau bela?”

Dan spiritualitas menjawab:
“Setiap kata adalah amanah. Setiap informasi adalah hisab. Setiap kalimat akan menjadi saksi bagi penulisnya.”

Dalam tradisi Timur, seorang penulis tidak dinilai dari seberapa viral tulisannya, melainkan sejauh mana ia membangkitkan kesadaran dan memperbaiki akhlak masyarakat.
Dalam tradisi Islam, Nabi mengajarkan bahwa kebenaran harus disampaikan dengan adab — karena kebenaran tanpa akhlak hanya melahirkan luka baru.

Jurnalisme yang bermartabat adalah jurnalisme yang menyatukan logika, etika, dan rasa kemanusiaan. Ia tidak hanya bertanya “apa yang terjadi”, tetapi juga “mengapa itu terjadi” dan “untuk siapa kebenaran itu diperjuangkan”.

Mari menulis dengan kejernihan hati.
Meliput dengan empati.
Menyiarkan dengan tanggung jawab moral.

Sebab tulisan yang kita tinggalkan bukan sekadar arsip berita; ia adalah jejak spiritual — ikhtiar kecil untuk menyalakan cahaya di tengah dunia.

Dan ketika pena telah menjadi cermin nurani, jurnalisme bukan lagi pekerjaan. Ia adalah pengabdian — amal yang hidup sepanjang waktu.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *