Pendidikan anak usia dini adalah pondasi utama masa depan bangsa. Di sinilah karakter, keberanian, rasa ingin tahu, serta potensi kemanusiaan anak mulai dibentuk. Namun, kita menghadapi tantangan besar di era ini: anak-anak semakin kehilangan wonder – rasa takjub, rasa penasaran, dan kepekaan terhadap keajaiban dunia. Fenomena ini tidak boleh kita anggap sepele, karena wonder adalah sumber utama belajar, kreativitas, dan tumbuhnya semangat hidup dalam diri anak.
Di tengah banjir arus informasi digital, anak-anak melihat terlalu banyak tetapi mengalami terlalu sedikit. Mereka dibombardir oleh visual yang cepat dan instan, sehingga otaknya overstimulasi dan tidak lagi peka terhadap hal-hal sederhana yang dulu menjadi sumber keajaiban: suara angin, gerak semut, jatuhnya daun, atau cahaya matahari di pagi hari. Padahal, di situlah fitrah belajar seorang anak sesungguhnya lahir.
Menurut psikologi eksistensial Rollo May, perkembangan manusia adalah perjalanan menumbuhkan diri melalui keberanian mencoba, menghadapi kecemasan, dan membangun hubungan penuh kasih. Anak tumbuh secara sehat ketika ia merasa aman, dihargai, dan diberi ruang untuk mengekspresikan jati dirinya. Ketika dunia digital merenggut keheningan, merusak fokus, dan menekan rasa ingin tahu, pendidikan harus hadir untuk mengembalikan keseimbangan itu. Keberanian anak untuk bertanya, berimajinasi, dan mengeksplorasi adalah inti perkembangan eksistensial yang tidak boleh hilang.
Maria Montessori mengingatkan bahwa anak belajar melalui pancaindra, melalui gerak, eksplorasi, dan pengalaman konkret. Ia membawa potensi bawaan yang harus dituntun, bukan dipaksa seragam. Setiap anak mengalami “masa peka”—periode emas ketika rasa ingin tahunya memuncak. Namun, ketika layar menggantikan realita, ketika jawaban diberikan terlalu cepat, dan ketika anak tidak diberi kesempatan mencoba sendiri, masa peka itu mati sebelum berkembang.
Sosiologi perkembangan menegaskan bahwa anak dibesarkan oleh budaya, keluarga, lingkungan bermain, dan suasana sosial. Di tanah Cianjur, anak-anak kita memiliki warisan budaya Sunda yang sarat nilai kesopanan, kebersamaan, dan kedekatan dengan alam. Tetapi jika lingkungan digital lebih dominan dibanding lingkungan sosial yang hidup, maka perkembangan sosial dan rasa empati anak ikut tergerus.
Karena itu, kurikulum PAUD nonformal harus disesuaikan dengan hukum perkembangan anak yang bersifat alami, manusiawi, dan kontekstual. Kita tidak boleh terjebak pada akademisasi dini. Tugas kita bukan mempercepat kemampuan baca-tulis-hitung, tetapi memulihkan kepekaan anak terhadap dunia, membangkitkan rasa ingin tahu, menumbuhkan keberanian bereksplorasi, menjaga keaslian karakter, serta menghidupkan kembali wonder dalam diri mereka.
Guru adalah fasilitator, bukan penguasa. Lingkungan belajar adalah ruang aman, bukan ruang tekanan. Pendidikan harus menyediakan keheningan, ruang untuk bertanya, kesempatan untuk salah, dan pengalaman sensorik yang kaya. Dengan memahami integrasi antara psikologi Rollo May, pendekatan Montessori, dan sosiologi perkembangan, kita menata kembali pijakan kurikulum PAUD agar berpihak pada tumbuh kembang anak secara menyeluruh.
Fenomena hilangnya wonder adalah panggilan bagi kita untuk memperbarui orientasi pendidikan. Jika kita ingin mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat konstitusi, maka kita harus memulainya dari hal paling mendasar: mengembalikan keajaiban di mata anak-anak kita. Dari kelas PAUD yang penuh rasa ingin tahu, kita membangun generasi Cianjur yang kreatif, mandiri, berkarakter kuat, dan mampu menjadi pemimpin masa depan.
Pendidikan bukan hanya soal apa yang diajarkan, tetapi bagaimana kita menjaga agar anak tetap merasakan dunia sebagai tempat yang menakjubkan. Di sanalah masa depan bangsa sedang menunggu untuk dilahirkan.












