(Kasus Penganiayaan Anak di Kecamatan Cugenang, UU Perlindungan Anak dan Tanggung Jawab Lembaga Dipertaruhkan)
Cugenang, Kabupaten Cianjur — Sebuah penganiayaan terjadi di SMP Negeri 3 Padaluyu, meninggalkan luka fisik dan trauma psikologis pada Azwari, siswa kelas 7E. Peristiwa ini memicu keprihatinan serius karena terjadi di lingkungan sekolah, tempat yang seharusnya menjadi ruang aman untuk membentuk karakter dan menanam nilai akhlak. Hingga kini, belum ada guru atau pihak sekolah yang hadir untuk memberikan perlindungan atau menenangkan korban, memperburuk kondisi psikologisnya.
Kejadian yang berlangsung pada Kamis, 30 Oktober 2025, melibatkan teman sekelas korban, Wahyu (kelas 8) dan Faisal, di duga sebagai pelaku. Berdasarkan hasil wawancara dan investigasi awal, korban mengalami:

Ketakutan berlebihan saat berada di sekolah
Kecemasan menetap
Rasa tidak aman dalam bersosialisasi
Psikolog anak menekankan bahwa trauma seperti ini dapat berdampak panjang pada perkembangan emosional, sosial, dan akademik Azwari, menciptakan luka yang jauh lebih dalam dibanding sekadar fisik.
Tindakan ini bukan sekadar kenakalan remaja. Indikasi niat jahat (mens rea) jelas, karena perbuatan dilakukan secara sadar di lingkungan yang seharusnya dijaga ketat oleh pihak sekolah.
Secara hukum, kasus ini dapat dijerat:
Pasal 76C juncto Pasal 80 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan
Dan karena peristiwa terjadi di sekolah, SMP Negeri 3 Padaluyu memikul tanggung jawab administratif dan moral berdasarkan Pasal 54 dan Pasal 65 ayat (1) & (2) UU Perlindungan Anak, yang menegaskan kewajiban menjamin keselamatan, perlindungan, dan keamanan peserta didik tanpa membedakan status sosial atau ekonomi keluarga.

Kasus ini menyingkap kegagalan sistemik: anak dari keluarga sederhana pun harus mendapat perlindungan yang sama, namun kenyataannya respon institusi lambat dan minim perhatian, meninggalkan trauma berkepanjangan.
Para pemangku kebijakan, guru, dan masyarakat diingatkan: perundungan bukan insiden ringan. Ini pelanggaran hukum dan moral yang serius, serta ancaman bagi masa depan anak-anak. Sudah saatnya diambil langkah tegas dan sistemik, agar sekolah kembali menjadi mercusuar moral dan tempat aman bagi semua anak, tanpa diskriminasi.













