Narasumber: Drs. Deni Hermawan, MSc
Narasi Filosofis-Akademis untuk Publikasi
Era digital, atau digitalisasi teknologi informasi yang dikenal sebagai disrupsi 4.0, telah membawa transformasi fundamental dalam pendidikan. Informasi mengalir tanpa batas melalui media sosial, menuntut manusia menjadi adapter sekaligus inovator, mampu menyesuaikan diri dengan perubahan sekaligus menciptakan nilai baru. Alvin Toffler pernah mengingatkan, “The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.” Pernyataan ini menjadi pengingat bahwa literasi modern tidak hanya soal membaca atau menulis, tetapi kemampuan reflektif untuk memahami, menyesuaikan, dan berinovasi.
Dalam konteks pendidikan, literasi digital menjadi kompetensi esensial. Namun literasi sejati tidak terbatas pada kemampuan teknis semata; ia menuntut kebijaksanaan etis, kemampuan memilah informasi, serta kesadaran akan dampak sosial dan budaya. Pendidikan modern harus menumbuhkan kemandirian, menjadikan manusia pribadi tepat guna, bukan sekadar pekerja atau konsumen informasi.
Pendidikan sejati, sebagaimana ditegaskan oleh John Dewey, bukan mendidik “apa” atau “siapa”, tetapi mendidik manusia. Tujuannya bukan sekadar menjadi sesuatu atau mencari sesuatu, melainkan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, membuka peluang, dan menciptakan lapangan usaha di berbagai bidang. Pendidikan adalah seni menghubungkan kemampuan individu dengan konteks sosial-ekonomi, sehingga ilmu pengetahuan dan keterampilan bukan sekadar teori, tetapi menjadi nyata dan produktif dalam kehidupan sehari-hari.
Prinsip-prinsip pendidikan modern harus berpusat pada student need, student interest, dan student welfare. Inilah yang membentuk living organism of education—sistem hidup yang tumbuh, berkembang, dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan manusia, bukan sekadar kurikulum statis. Charles Taylor menekankan bahwa identitas manusia dibentuk oleh narasi komunitas; pendidikan yang utuh harus menyeimbangkan kebebasan individu dengan akar budaya.
Integrasi nalar, rasa, dan kesadaran kultural menjadi inti pendidikan masa kini. Martha Nussbaum menyatakan, “The purpose of education is to cultivate humanity in the fullest sense.” Pendidikan modern harus menumbuhkan manusia yang bijak, kreatif, mandiri, dan mampu memberi manfaat bagi dirinya sendiri, masyarakat, dan dunia.
Kesimpulannya, pendidikan dalam era disrupsi digital bukan sekadar mentransfer pengetahuan, tetapi membentuk manusia yang adaptif, kritis, berbudaya, dan produktif. Dengan menyeimbangkan literasi digital, kemandirian, dan kepedulian sosial, pendidikan mampu menjadi kekuatan transformatif bagi manusia dan komunitasnya—menghidupkan nalar, rasa, dan kreativitas dalam satu kesatuan utuh.












