Kabar Rakyat Nasional.id Cianjur — Dalam pandangan Komarudin, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Cianjur, isu pencemaran dan kerusakan lingkungan bukan hanya persoalan ekologi, melainkan juga persoalan hati dan kesadaran. Alam, katanya, bukan benda mati yang bisa dieksploitasi tanpa batas, tetapi bagian dari kehidupan manusia yang memiliki jiwa dan nilai intrinsik.
“Ketika manusia memandang pohon hanya sebagai kayu, sungai hanya sebagai saluran, dan bumi hanya sebagai tanah jual, maka yang mati pertama kali bukanlah alam — tetapi nurani,” ujarnya dalam sebuah kesempatan reflektif di Cianjur.
Pandangan ini sejalan dengan gagasan para tokoh lingkungan dunia yang menyerukan kesadaran ekologis sebagai fondasi peradaban.
Rachel Carson, penulis Silent Spring, pernah memperingatkan bahwa ketika manusia menyakiti alam, ia sedang menyakiti dirinya sendiri.
Wangari Maathai, aktivis asal Kenya dan peraih Nobel Perdamaian, menanam jutaan pohon untuk mengembalikan napas bumi Afrika, karena baginya, menanam berarti memberi kehidupan bagi generasi mendatang.
Sedangkan Greta Thunberg, aktivis muda asal Swedia, mengingatkan dunia bahwa “sains sudah jelas, tapi hati manusia belum terbuka.”
Bagi Komarudin, pesan-pesan itu sejalan dengan semangat Cianjur sebagai daerah yang dianugerahi alam yang indah namun juga rentan.
“Cianjur memiliki gunung, sungai, dan lahan yang subur — tapi juga menghadapi ancaman nyata dari perilaku manusia yang serakah. Tugas kita bukan hanya menanam pohon, tapi menanam kesadaran,” ujarnya.
Secara filosofis, ia menilai lingkungan hidup adalah perpanjangan dari eksistensi manusia. Dalam pandangan klasik Seneca dan para filsuf Stoik, manusia wajib hidup selaras dengan alam, bukan menentangnya. Dalam nilai-nilai Islam pun, manusia disebut khalifah fil ardh — penjaga bumi, bukan penguasa mutlak.
“Alam bukan untuk ditaklukkan, tapi diajak berdialog. Jika manusia bijak, maka alam akan bersahabat,” tambahnya.
Komarudin juga menyinggung realitas sosial bahwa banyak orang kini “buta hati” terhadap kerusakan yang mereka buat.
“Mereka melihat hutan hanya dari sisi ekonomi, bukan ekologi. Padahal keserakahan adalah bentuk buta yang paling parah — karena menutup mata terhadap kehidupan yang lebih luas dari dirinya sendiri.”
Ia mengutip filsuf humanis Albert Schweitzer: “Saya adalah kehidupan yang ingin hidup di tengah kehidupan yang juga ingin hidup.”
Kalimat ini, menurutnya, menjadi pengingat bahwa setiap tindakan terhadap alam adalah tindakan terhadap kehidupan itu sendiri.
Dalam pandangannya, menjaga lingkungan bukan hanya pekerjaan teknis instansi, tetapi gerakan moral dan spiritual seluruh masyarakat.
“Lingkungan yang bersih dan lestari adalah wujud syukur kepada Tuhan. Ketika kita merawat bumi, sejatinya kita sedang beribadah dalam bentuk yang paling nyata,” ujarnya.
Komarudin menegaskan bahwa Kabupaten Cianjur ingin menjadi contoh daerah yang mampu menyeimbangkan pembangunan dengan kelestarian.
“Pembangunan tanpa etika lingkungan hanyalah kemajuan semu. Tapi jika pembangunan berjalan bersama alam, maka Cianjur bisa menjadi ikon kebijaksanaan ekologis di Indonesia,” tutupnya dengan tenang, sambil menatap hamparan hijau yang kini menjadi tanggung jawab bersama.









