Home / Nasional / Sumatera Utara / Cermin Buram Etika DPRD: Antara Kekuasaan, Nafsu, dan Perselingkuhan

Cermin Buram Etika DPRD: Antara Kekuasaan, Nafsu, dan Perselingkuhan

OPINI oleh: AZN

14 Oktober 2025
Kabar rakyat nasional.id
Langkat, Sumatera Utara

Di atas panggung kekuasaan, sebahagian para pejabat dan anggota DPRD kerap tampil seolah-olah sebagai sosok terhormat. Mereka bicara tentang pembangunan, kesejahteraan rakyat, dan integritas jabatan. Namun di balik gemerlap itu, publik kian sering menyaksikan sisi lain yang jauh dari terhormat: retaknya etika dan moral di lingkar keluarga kekuasaan.

Beberapa hari terakhir, mulai terdengar bisik-bisik di kalangan masyarakat, ASN, hingga media, adanya perilaku tak pantas yang dilakukan oleh istri pejabat dan anggota DPRD. Bukan sekadar soal gaya hidup mewah tetapi juga perselingkuhan yang mencoreng kehormatan keluarga sekaligus lembaga publik.

Ada yang terjalin diam-diam di balik kegiatan dinas, ada pula yang terang-terangan menjalin hubungan dengan sesama ASN, staf, bahkan kolega politik.
Beberapa di antaranya memanfaatkan kedekatan jabatan suami untuk menutupi skandal pribadi.
Fenomena ini menunjukkan bukan sekadar penyimpangan moral pribadi, melainkan pembusukan etika kekuasaan yang menular dari rumah tangga pejabat ke ruang pemerintahan.

Di satu sisi, pejabat bicara tentang moral dan kehormatan publik.
Namun di sisi lain, rumah tangga mereka justru menjadi sumber aib sosial.
Bagaimana mungkin masyarakat percaya pada pemimpin yang gagal menjaga integritas keluarganya sendiri?

Etika publik tidak berhenti di meja kerja atau sidang paripurna. Ia dimulai dari rumah — dari bagaimana seorang pejabat menghormati istrinya, dan bagaimana istrinya menjaga nama baik keluarga.
Ketika hubungan pribadi dikotori dengan pengkhianatan dan perselingkuhan, maka seluruh kepercayaan publik ikut runtuh.
Sebab masyarakat tidak hanya menilai pejabat dari kebijakan, tapi juga dari keteladanan moralnya.

Fakta di lapangan menunjukkan, sebagian istri pejabat dan anggota DPRD kini hidup dalam lingkaran hedonisme. Mereka sering tampil berlebihan dalam acara sosial, menggunakan fasilitas negara secara tidak etis, bahkan menjalin hubungan emosional dengan pejabat lain demi kepentingan pribadi.
Mereka lupa bahwa status sebagai istri pejabat bukanlah tiket untuk berkuasa, melainkan amanah moral yang harus dijaga.

Lebih ironis lagi, perilaku seperti ini sering dibiarkan.
Suami yang seharusnya menegakkan kehormatan keluarga malah tutup mata, entah karena takut skandal mencuat ke publik, atau karena dirinya sendiri terjebak dalam perilaku serupa.
Akhirnya, lingkar kekuasaan menjadi tempat saling melindungi aib, bukan menegakkan etika.

Kita harus berani mengatakan yang sebenarnya:
krisis moral di tubuh DPRD dan pemerintahan daerah tidak akan berakhir selama keluarga pejabatnya hidup dalam kemunafikan.
Kekuasaan tanpa kendali moral akan menimbulkan penyimpangan, dan penyimpangan yang dibiarkan akan menular ke seluruh struktur birokrasi.

Istri pejabat dan anggota DPRD bukan sekadar pelengkap status sosial.
Mereka seharusnya menjadi penjaga marwah jabatan, benteng moral suami, serta panutan bagi masyarakat. Tapi jika justru mereka yang mempermalukan jabatan itu dengan perilaku tidak senonoh, maka masyarakat berhak mempertanyakan layak tidaknya pejabat seperti itu tetap diberi kepercayaan publik.

Kekuasaan bisa dibeli lewat politik uang, tapi kehormatan tidak bisa dibeli.
Ia hanya bisa dijaga dengan akhlak dan kesetiaan.
Dan ketika akhlak itu runtuh, yang tersisa hanyalah kursi, kendaraan dinas, dan kenangan buruk di mata rakyat.

Maka, sebelum berbicara soal pembangunan moral bangsa,
benahilah dulu “moral keluarga di rumah kekuasaan”.
Sebab dari rumah yang retak, akan lahir kekuasaan yang busuk.
Dan dari istri yang hilang etika, lahir pejabat yang kehilangan kehormatan.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *