Home / Pemerintah Pusat / Hati teriris sekali melihat anggota DPR usai sidang HUT RI joget dan menari-menari, lebih baik bubarkan saja.

Hati teriris sekali melihat anggota DPR usai sidang HUT RI joget dan menari-menari, lebih baik bubarkan saja.

25 Agustus 2025,
Jakarta, Kabar Rakyat Nasional.id

Akbar Endra (pernah menjadi wakil rakyat) Seruan bubarkan DPR semakin ramai di tengah ke kecewaan publik terhadap isu tunjangan dewan, Jakarta, Senin (25/08).
Ada dugaan kabar dari aktivis, bahwa DPR RI dan anggotanya minta dibubar, karena aspirasi masyarakat tak terserap.

Malah ajang korupsi besar-besar di DPR RI. Itu rencana akan di bubarkan saja Gedung DPR RI serta anggotanya.

“Kami sakit hati pada anggota DPR saat usai rapat pada joget-joget dan menari-nari di Gedung DPR”, ujarnya Akbar di saat demo.
Kini sejumlah anggota DPR malah minta naikan gaji, ada kabar Rp 50 juta/ bulan kurang cukup.

Tapi apakah ini solusi atau justru ancaman bagi demokrasi Indonesia?.
Meniti indonesia, OPINI Setiap kali mahasiswa turun ke jalan, sejarah bangsa seolah berdenyut kembali.

Dari zaman pergerakan hingga Reformasi 1998, suara mahasiswa selalu menjadi tanda perubahan.

Mereka adalah demonstran, sekaligus penjaga moral bangsa, pengingat ketika kekuasaan mulai lalai pada rakyat.

Kita masih ingat bagaimana langkah kaki mereka, disertai teriakan lantang, pernah mengguncang rezim dan melahirkan era baru, Reformasi.

Namun kini, di tengah panasnya aspal jalanan, muncul seruan yang mengejutkan, “Bubarkan DPR!”.

Slogan ini lahir dari kemarahan publik terhadap isu tunjangan fantastis anggota dewan.

Lebih Rp100 juta per bulan di tengah kesulitan rakyat–dianggap tak peka dengan kondisi ekonomi rakyat.

Wajar jika ada kegeraman. Wajar jika ada yang marah.

Tapi, mari kita jujur, apakah solusinya membubarkan DPR? Atau justru seruan itu akan menjerumuskan kita ke jurang yang lebih berbahaya?

Musuh atau Pilar Demokrasi?
Kita boleh kecewa, bahkan marah, terhadap kinerja DPR.

Namun jangan lupa, DPR adalah simbol representasi rakyat.

Di sanalah undang-undang lahir, kebijakan di susun, dan Suara kita, meski sering tak terdengar, punya ruang untuk di perjuangkan.

Membubarkan DPR bukan hanya tindakan emosional, Itu adalah tindakan yang mencabut salah satu pilar utama demokrasi.
Tanpa DPR, ke mana aspirasi rakyat akan disalurkan? Tanpa DPR, siapa yang mengawasi jalannya pemerintahan?

Kekosongan politik yang tercipta bisa jadi pintu masuk otoritarianisme, kita tidak ingin kembali ke masa gelap itu, bukan?

Isu tunjangan yang jadi bahan bakar kemarahan ini juga harus dilihat dengan kacamata proporsional.

Tunjangan itu bukan uang untuk foya-foya, setidaknya secara ideal.
Itu adalah biaya representasi, untuk mendukung kerja legislasi dan penyerapan aspirasi di daerah pemilihan.

Masalahnya bukan pada tunjangannya, tetapi pada transparansi dan akuntabilitas penggunaannya.

Di sinilah titik kritik yang seharusnya diarahkan kawal anggaran DPR agar tidak menjadi bancakan.

Belajar dari Reformasi: Bukan Membubarkan, Tapi Menata
Reformasi 1998 mengajarkan satu hal perubahan sejati bukan dengan meruntuhkan.

Tapi dengan menata ulang sistem agar lebih adil dan demokratis.
Dulu, mahasiswa tidak menyerukan pembubaran lembaga negara, melainkan menuntut tata kelola yang bersih dan berpihak pada rakyat.

Itu yang harus kita hidupkan kembali tradisi intelektual, jangan asal teriak dan emosional.

Demonstrasi adalah Energi perubahan, tapi energi itu harus di Arahkan ke sasaran yang tepat.

Jangan biarkan amarah menjadi bumerang yang menghancurkan rumah demokrasi yang kita bangun susah payah.

Tuntutan yang cerdas adalah memperkuat DPR, bukan membubarkannya, mendorong transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan kepada rakyat.

Karena pada akhirnya, demokrasi bukan pada siapa yang berkuasa.

Demokrasi adalah soal bagaimana kita menjaga agar kekuasaan tetap dalam kendali rakyat.

Dan itu tidak bisa dilakukan tanpa lembaga perwakilan.Tegas nya.
(SJ)

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *